19 September 2009

Gelas Bocor

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang pangeran dari sebuah kerajaan besar di Tiongkok. Sang pengeran muda dikenal sebagai sosok yang sombong, arogan, egois, dan segala macam kebiasaan buruk lainnya. Ayah dan Ibu pangeran sudah sering menasehati pangeran untuk mengubah perilaku buruknya, namun tetap saja pangeran tidak menggubrisnya, dan tetap memelihara kebiasaan lamanya.

Suatu ketika, atas saran dari penasehat kerajaan, raja meminta pangeran pergi mengunjungi seorang guru bijak yang tinggal di pelosok negeri itu. Raja sangat berharap, sang guru dapat "menyembuhkan" penyakit pangeran yang sudah sampai tahap kronis.

Guru bijak itu sangat terkenal di seluruh penjuru negeri. Bahkan para nyamuk pun terpukau dengan nasehat-nasehat yang diberikan guru bijak ini kepada pasien yang berkunjung. Motivasi yang diberikan sang guru bukanlah sembarang motivasi, tapi motivasi yang bisa "membakar" seorang yang putus asa menjadi sangat percaya diri. Wuih....!

Pangeran akan diberikan hadiah menarik apabila bersedia mengunjungi sang guru untuk belajar kepadanya. Setelah dibujuk dan diimingi berbagai hadiah menarik, akhirnya pangeran setuju untuk berkunjung ke rumah sang guru.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga hari, sampailah pangeran di pondok sang guru. Tanpa permisi, pangeran langsung masuk ke dalam pondok. Di dalam tampak sang guru sedang duduk bersila menikmati secangkir teh hangat. Dengan ramah sang guru mempersilahkan pangeran muda untuk duduk dan menikmati teh. Setelah duduk, dengan angkuhnya pangeran bertanya kepada sang guru, "Hei, Pak Tua, apa yang bisa kau ajarkan kepadaku? Aku adalah pangeran yang pintar dan cerdas, aku rasa kau tidak bisa menandingi kepandaianku!"

Sang guru tetap tenagn dan menikmati teh hangatnya. Kemudian sang guru berkata kepada pangeran, "Baiklah aku akan mengajarkan satu hal tentang kerendahan hati kepadamu." Sang guru menuangkan teh panas ke dalam cangkir kosong yang berada di depan pangeran. Setengah, lalu satu cangkir telah penuh terisi, namun sang guru terus menuangkan teh ke dalam cangkir yang sudah penuh itu. Tuang terus, terus, terus..... hingga teh itu luber membasahi meja dan tangan pangeran.

"Hei, stop! Jangan tuang lagi tehnya, cangkirnya sudah penuh!" seru pangeran. Selanjutnya kata-kata dari sang guru seakan menghantam pangeran muda ini. Sang guru mengatakan, "Cangkir penuh ini melambangkan Anda, Pangeran. Ketika Anda merasa cangkir Anda sudah penuh terisi, maka kata-kata apa pun yang saya ajarkan tidak akan berguna, karena Anda tidak membuka diri Anda untuk belajar."

Wajah pangeran muda mendadak jadi merah karena malu. Seakan tamparan keras baru menghampiri pipi kiri dan pipi kanannya.

Selanjutnya sang guru berkata lagi, "Jika memang Anda ingin belajar, marilah Anda mengosongkan cangkir yang ada di pikiran Anda, supaya kita dapat sama-sama belajar." Pangeran menganggukkan kepala tanda setuju.

Cerita ini seakan menjadi cerita sepanjang masa yang tak lapuk oleh waktu. Saat kita merasa "cangkir" yang ada di pikiran kita sudah penuh terisi, kita tidak akan membuka diri kita untuk belajar hal-hal yang baru.

Gelas bocor. Dengan takaran air masuk dan air keluar yang sama. Air yang masuk berarti pengetahuan dan pelajaran baru dalam hidup kita, sedangkan air yang keluar adalah pengalaman ataupun kenangan negatif kita pada masa lalu yang harus kita keluarkan dari "cangkir" pikiran kita ini menjadi teh yang selalu menyehatkan.

Segala sesuatu bisa menjadi guru untuk kita, apabila kita dengan rendah hati mencoba menjadi murid yang baik bagi siapapun, kapan pun dan di mana pun. Guru-guru tidak harus orang yang lebih tua, lebih bijak, ataupun orang-orang yang lebih sukses dibanding kita. Akan tetapi semua orang, semua makhluk, bahkan benda mati pun dapat menjadi guru bagi kita.

No comments:

Post a Comment