05 May 2009

Crystal Yang Retak

Namaku Wina, aku orang yang supel, suka bercanda, senang berteman dengan siapa saja, aku tak pernah membeda-bedakan dalam berteman. Aku termasuk orang yang tak begitu perduli dengan penampilan, aku suka bergaya casual, yang penting bisa membuatku nyaman untuk bergerak, karena aku tak bisa diam..Aku masih memiliki seorang ibu yang sangat aku hormati. Aku tak berani membantah apapun yang disuruh atau diperintahkan oleh ibuku. Prinsipku hanya satu, “Di dunia ini tak ada yang bisa membuatku takut, yang kutakuti hanya jika Ibuku dan Tuhan marah padaku”.

Suamiku bernama Andy. Aku mengenal Andy waktu aku baru masuk setengah tahun ke sebuah perusahaan Multilevel Marketing. Ketika itu temanku yang mengenalkan Andy padaku. Andy adalah seorang pembicara dan pemberi motivasi di perusahaan itu. Aku hanya menganggapnya teman, tak lebih. Aku sangat tidak suka pada sifatnya yang sangat pelit, bahkan cenderung membencibta. Lama-lama aku menjauh karena aku pikir dia bukan orang yang baik untuk diajak bersahabat.

Aku memiliki kekasih, bernama Doni. Saat itu aku berpacaran dengan Doni sudah 3 tahun. Hubungan aku dan Doni terganggu karena ada orang ketiga, dan itu diakui oleh Doni. Aku tak habis pikir, mengapa Doni tega menyakiti aku? Hubungan kami selalu dihiasi dengan bertengkar terus, lalu aku minta putus dan disetujui Doni. Tapi beberapa hari kemudian kami berbaikan lagi, karena aku tak tahan dengan rayuannya. Begitu terus berulang-ulang. Itu membuatku menderita. Pernah aku mencoba untuk bunuh diri dengan meminum segelas racun serangga. Saat kejadian itu tak ada siapapun di dalam rumah. Aku menumpang di rumah Tanteku. Aku pikir aku bisa mati, aku tak tahan dengan rasa sakit ini. “Mengapa di saat kau bersama aku, kau selalu menyebut nama wanita itu? Mengapa kau tak mau melepaskan aku, jika kau mencintainya?,” pikirku, waktu itu. Mungkin karena Tuhan masih sayang padaku, aku tidak mati. Aku merasakan perutku panas, dan sepertinya ada beribu-ribu jarum menusuk perutku. Aku jatuh sakit selama 4 hari. Tak bisa makan, hanya minum saja, dan tak bisa buang air besar. Tante dan om ku pikir aku sakit demam biasa. Aku tak berani bicara. “Hanya orang bodohlah yang melakukannya,” kataku, pada diriku sendiri. Aku malu. Lalu aku pindah dari rumah Tanteku ke tempat kos yang tak jauh dari sana. Hubunganku dengan Doni semakin memburuk. Doni semakin sering menyakiti aku. Aku memang orang yang tertutup, aku tak pernah memperlihatkan rasa sakit ini padanya. Tetapi untuk mengurangi rasa sakit ini, aku membutuhkan seorang sahabat yang bisa aku percaya untuk mendengarkan semua uneg-uneg yang ada di dalam hatiku. Memang saat itu Andy yang sering berada dekat denganku. Akhirnya dialah yang kupercaya untuk menampung semua kekesalan hatiku. Kadang aku dan Andy pergi makan berdua, padahal aku hanya ingin bercerita. Saat itu aku tidak berpikir bahwa aku telah memanfaatkan Andy. Aku hanya merasa bahwa dia adalah sahabatku yang paling dekat, yang begitu baik dan sabar mau mendengarkan semua curahan hatiku. Setiap kali aku pindah kos, aku selalu meminta tolong pada Andy untuk membantuku mengangkat barang-barangku. Ketika aku pindah tempat kos lagi aku mendapatkan tempat yang tak jauh dari rumah Andy. Semakin seringlah kami bertemu. Setiap kali aku pulang, aku ikut motornya Andy. Kadang Andy mengajakku pergi ke bioskop berdua. Walaupun aku terus bercerita tantang Doni, Andy dengan sabar mendengarkan. Ketika akhirnya aku memutuskan Doni dan bertekad untuk tak kembali lagi. Doni beberapa kali mencoba menghubungiku, tetapi aku tidak pernah mau menerimanya. “Biarlah mereka berdua bahagia, tanpa aku di tengah-tengahnya”, pikirku. Aku begitu terpuruk. Tetapi, keputusan itu harus aku ambil. Aku tak bisa terus menerus disakiti. Setiap hari aku menangis seorang diri. Andylah yang terus menghiburku, yang menguatkan aku. Aku merasa dia adalah penolongku. Aku mencoba menjalin cinta dengan beberapa pria. Tak ada satupun yang mengerti aku. Mereka semua egois. Tanpa kusadari, akhirnya aku dan Andy berpacaran. Kami berpacaran tak begitu lama. Saat pamannya menyuruh Andy untuk pergi ke Kalimantan, aku diharuskan ikut. Aku tak mau. “Biar saja Andy ke Kalimantan, saya di sini, om. Kalau memang kami berjodoh tak lari kemana,” kataku. “Apa kata orang nanti?” kataku lagi pada papanya Andy. Aku tak mau jadi bahan omongan, karena kami bukan suami istri tapi tinggal satu rumah. Lalu papanya Andy mengambil inisiatif untuk melamar aku dulu, “setelah kembali dari Kalimantan baru menikah”, katanya. Aku tetap tidak mau, dan mamaku juga tidak setuju. “Kalau tunangan dulu bagaimana?” tanya papanya Andy. Aku tetap tidak setuju. Sebenarnya mamaku tidak setuju aku dengan Andy. Karena Andy bukan laki-laki yang tampan, dan pekerjaannya masih tidak menentu. Mamaku sangsi, apakah Andy bisa membahagiakan aku? Sebenarnya aku juga belum mau menikah. Hanya saja ketika papanya Andy menyuruh Andy menikahi aku, aku merasa kasihan. Aku berkata pada mamaku, “Sudah ya, ma, terima saja. Tidak enak. Selama ini mereka sudah baik padaku.”

Kami menikah di Catatan Sipil, yang hanya disaksikan oleh dua orang teman Andy. Yang aku heran, kenapa papanya Andy bilang, “saya tak mau tahu urusan kalian, kalian urus sendiri. Saya juga tidak mau hadir jadi saksi kalian”. Semua biaya pengurusan di Catatan Sipil, Andy yang menanggung. Tak ada sedikitpun bantuan dari orang tuanya Andy. Tak ada pesta meriah, tak ada acara perkenalan kepada sanak saudara. Tak ada emas kawin dan tak ada uang susu, yang menurut aturan orang Tionghoa biasanya diberikan pada ibu mempelai wanita. Mamaku sedih, anaknya seperti direnggut begitu saja. Sepertinya aku tidak berharga sama sekali. Anehnya lagi, aku tidak merasa keberatan. Ternyata setelah menikah, rencana ke Kalimantan dibatalkan. Ada rasa menyesal dalam hatiku. Kalau saja aku lebih tegas pada diriku. Mungkin aku tak cepat-cepat menikah. Karena setelah aku menikah aku harus tinggal di rumah mertuaku. Dan ternyata, semua kebaikan yang mereka tunjukkan sebelum menikah, berubah total setelah aku tinggal disana. Aku merasa mertuaku bukan mencarikan istri untuk anaknya tapi mereka mencarikan pembantu untuk mereka semua. Ah, aku tak mau mengingatnya lagi. Terlalu menyedihkan untuk diingat. Andy hanya diam setiap kali melihat aku dibentak-bentak oleh orang tuanya. Aku juga tidak melawan, aku hanya pasrah. Aku tak tahan mendengar omelan orang tuanya, aku minta Andy memberi ijin agar aku bisa bekerja. “Aku harus bekerja, Andy tidak memberiku uang”, pikirku. Aku bekerja satu kantor dengan Andy di perusahaan pamannya. Hanya delapan bulan kalau tidak salah, aku bekerja di sana. Aku dipecat karena tuduhan mencuri uang patty cash. Aku tidak takut, semua uangnya masih utuh. Itu hanya akal-akalan mereka saja untuk mengeluarkan aku. Lalu aku mendapatkan pekerjaan di perusahaan alat-alat kedokteran. Pekerjaan ini aku dapatkan atas bantuan seorang teman. Pergi aku diantar dan pulang aku dijemput oleh Andy. Begitu setiap hari. Pernah aku dan Andy berniat untuk mengontrak rumah, tapi tak diijinkan. Alasannya sayang uang. Kami pernah berniat untuk membeli rumah yang murah walaupun di pinggiran kota, juga tidak diijinkan. Alasannya rumah orang tuanya itu nanti juga akan menjadi milik kami. Aku tidak mengharapkan warisan apapun. Aku hanya ingin tinggal mandiri.

Setalah satu tahun kami menikah, lalu aku hamil. Aku tak tahu, aku kira aku datang bulan. Aku makan obat untuk memperlancar haid. Tapi, malah haidku berhenti. Selama tiga bulan aku tidak datang bulan lagi. Perutku rasanya tak enak. Andy mengantarkan aku ke Dokter kandungan. Setelah diperiksa ternyata aku hamil. Tapi janin tersebut sudah rusak dan tak bisa diselamatkan lagi. Aku harus dikuret. Mertuaku marah-marah padaku. Aku hanya diam, memang aku yang salah. Selang beberapa bulan kemudian aku hamil lagi. Kali ini aku tak mau disalahkan lagi. Aku tak pernah meminum obat pelancar datang bulan lagi. Bulan kedua kehamilanku, Andy ditugaskan ke Medan untuk membuka perusahaan baru. Sedangkan aku berhenti dari perusahaan tempatku bekerja. Padahal pimpinanku menolak surat pengunduran diriku. Andy ingin aku ikut. Tetapi dokter tidak mengijinkan, dengan alasan kandunganku masih lemah. Terpaksa Andy berangkat sendiri. Aku tinggal di rumah mertuaku. Selama hamil muda ini aku mengalami mual, pusing, dan badanku lemah. Aku tak kuat berdiri dan berjalan. Sedangkan kamarku berada di lantai dua. Mertuaku tidak pernah menanyakan keadaan aku. Aku juga heran apa mereka tidak curiga, kenapa aku tidak turun untuk makan atau minum? Jika aku ingin ke kamar mandi, aku harus merayap di tangga. Kesehatanku semakin menurun, berat badanku semakin merosot. Tiap kali Andy menelpon orang tuanya, dia tidak berusaha untuk berbicara denganku. Aku sedih sekali, aku merasa di dunia ini aku sendirian. Sering aku menangis. Tapi percuma aku menangis, “siapa yang bisa menolongku? Hanya diriku sendiri yang bisa”, tekadku. Dengan susah payah aku turun, dan menelpon mamaku. “Aku mau pulang ke rumah mama”, kataku. Mamaku mengijinkan aku pulang. Mertuaku tidak berbicara apa-apa, ketika aku mengatakan aku mau pulang ke rumah mamaku. Aku naik bajaj ke rumah mama. Sesampainya di rumah mama, “kamu kenapa? Wajahmu pucat, tubuhmu kurus sekali. Benar-benar keterlaluan mereka. Sudah mengambil anak orang, tapi tidak bertanggung jawab!” kecam mamaku. Mamaku membawaku ke dokter. Aku mengeluarkan flek hitam yang banyak. Dokter mendiagnosa ada virus rubella dan toksoplasma. Dokter memberiku obat untuk mematikan virus-virus tersebut, serta beberapa macam vitamin. “Kita lihat nanti kalau sampai enam bulan bayinya tidak normal, harus dibuang.” Kata dokter. Aku berdoa setiap hari, agar janin ini selamat. Obat-obatan yang diberi dokter tidak dapat membantu memulihkan kondisiku. Mamaku lalu membawaku ke sinshe. Dari sinshe aku diberi ramuan obat untuk menguatkan aku. Seminggu sekali aku harus ke sinshe. Aku meminta Andy menanggung biayanya. Seminggu sekali Andy mengirim uang tersebut. Selama dua bulan aku berobat ke sinshe. Akhirnya kondisiku membaik. Setelah empat bulan usia kandunganku, Andy pulang ke Jakarta. Lalu membawaku ke dokter untuk cek, apakah aku bisa ikut Andy ke Medan. Ternyata, aku sudah kuat untuk naik pesawat.

Seminggu kemudian setelah persiapan kami pun berangkat ke Medan. Di sana aku pun bekerja. Sampai usia kandunganku tujuh bulan. Setelah usia kandunganku sembilan bulan lebih. Aku masuk rumah sakit jam 7 malam, langsung oleh suster diberi infus. Sepanjang malam aku tak bisa tidur, perutku sakit sekali. Setelah diperiksa baru bukaan dua. Tidak terbayang olehku, bukaan dua sudah seperti ini sakitnya, apalagi seterusnya? Rasanya ingin aku membenturkan kepalaku ke tembok jika itu bisa mengurangi rasa sakitnya. Waktu berjalan dengan lambat. Jam 6 pagi akhirnya dokter datang. Suster mengatakan bahwa aku belum tidur dari tadi malam. Sedangkan untuk melahirkan aku perlu tenaga. Dokter itu mengerti keluhanku. “dok, saya tidak tahan sakit. Kalau terlalu sakit saya bisa pingsan”, kataku pada dokter. Dokter memberikan infus ephidural yang ditusukkan pada tulang punggungku. Infus itu membuatku tidak merasakan sakit lagi. Dan aku tertidur. Suster tetap memeriksa terus. Ketika jam 1 siang aku dibangunkan, suster mengatakan, “bu, ibu sudah siap untuk melahirkan, dokter sudah datang”. Dengan dibantu 7 orang suster, akhirnya aku melahirkan dengan selamat. Aku periksa semua keadaan tubuhnya. Bayi itu perempuan dengan berat 3,3 kg. Setelah kupastikan bayiku selamat, aku tertidur lagi. Ternyata proses kelahiranku tidak mudah.

Perusahaan tempat Andy bekerja itu hanya bertahan selama satu tahun. Karyawan-karyawan yang dipakai semua masih ada hubungan keluarga dengan salah satu pemegang saham. Mereka bermalas-malasan, sedangkan Andy diberi ruangan tersendiri yang letaknya di belakang, jadi tak bisa mengontrol pekerjaan mereka. Sewaktu perusahaan tersebut ditutup karena lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. Aku dan Andy pulang ke Jakarta. Aku memutuskan tidak ingin lagi pulang ke rumah mertuaku, aku lebih memilih pulang ke rumah mamaku. “Terserah kamu mau pulang ke rumah orang tuamu atau ikut aku”, kataku pada Andy. Andy mengikuti aku pulang ke rumah mamaku. Setalah pulang ke Jakarta, Andy berusaha mencari kerja. Sambil menanyakan pada teman-temannya apa ada lowongan. Selama di rumah mamaku Andy tidak merasa betah,. Memang di rumah mamaku tidak ada AC, maklum beban daya listrik di sana tidak cukup untuk memasang AC. Dan mamaku belum mampu untuk membeli AC. Kami tinggal di sana hanya selama kurang lebih 3 bulan. Andy ingin segera keluar dari sana, sedangkan aku tidak mau kembali ke rumah orang tuanya. Orang tuanya juga menyuruh Andy mengontrak rumah saja, daripada tinggal di rumah mamaku. Akhirnya kami mengontrak rumah di daerah kelapa gading, jauh dari rumah mamaku dan rumah mertuaku.

Setelah pindah, aku sibuk dengan pekerjaanku mengurus bayi, memasak, dan mengerjakan semua urusan rumah tangga. Kami tidak memiliki pembantu. Andy akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai sales di sebuah perusahaan developer di daerah Sentul. Berangkat pagi jam 7 pulang ke rumah sampai jam 9 malam. Dia sudah kecapaian, untuk membantuku mengurus rumah dan bayi. Ketika anakku berumur 6 bulan aku hamil lagi. Beruntung Andy mendapatkan pekerjaan baru yang lebih dekat yaitu di Sunter. Terus terang aku termasuk istri yang percaya pada suamiku. Walaupun Andy tak pernah mengatakan berapa yang dia dapatkan sebulannya. Dan dia tidak memberikan uang sepeserpun padaku. Aku meminta Andy untuk membantuku mengambil alih beberapa pekerjaan yang dia mampu lakukan. Tapi itu tidak bertahan lama, akhirnya dia menyuruh aku mencari pembantu. Syukurlah, setidaknya ada yang membantuku. Aku kewalahan bekerja sendiri. Belum lagi aku harus bangun beberapa kali saat tengah malam untuk memberi susu pada si kecil. Setidaknya anakku tidak begitu rewel. Mungkin anak itu mengerti mamanya hanya mengurus sendiri. Dan selama aku hamil anak kedua, aku tidak mengalami saat-saat susah. Biasa saja.

Tibalah saat aku mau melahirkan anakku yang kedua, aku meminta bantuan adikku untuk menjaga anakku yang pertama. Kelahiran yang kali ini aku mengalami masalah. Aku mengatakan pada suster bahwa aku tak tahan sakit, tapi suster tersebut tidak mau perduli malah mengeluarkan kata-kata yang tak senonoh yang sebenarnya tak pantas diucapkan seorang suster. Aku mengalami kejang-kejang, tubuhku tak bisa menahan sakit yang kurasakan. Suster tersebut panik. Dia memberi aku selang oksigen. “ibu jangan merem, matanya dibuka”, teriaknya padaku. Aku merasa mataku tidak kututup. Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa, hanya warna hitam yang kulihat. Aku hanya bisa mendengar. Aku mendengar suara suster itu memanggil-manggil Andy. Suster itu menyuruh Andy membeli minyak kayu putih. Yang kudengar hanya suara langkah yang terburu-buru. Lalu setelah Andy kembali, aku merasakan ada yang memijat tangan dan kakiku. Tak berapa lama dokter datang. Terus aku diperiksa. Selama kejang-kejang itu aku tidak merasakan sakit, tangan dan kakiku kaku seperti kayu. Setelah dipijat-pijat, lama-lama tangan dan kakiku kembali lemas. Barulah aku diberikan infus ephidural di tulang punggungku. Proses kelahiran anakku ini sangat cepat hanya 15 menit aku mengedan langsung keluar. Anakku laki-laki dengan berat 3,2kg. aku pindah ke ruang kelas II, karena itu memang permintaanku. Aku tak mau di ruang VIP seperti waktu melahirkan anak pertama. Aku sendiri, tak ada yang menemani. Andy hanya datang sesekali, itu pun hanya sebentar, hanya menanyakan aku perlu apa, lalu aku ditinggal sendiri lagi. Sedangkan di ruang kelas II ini, selain aku masih ada 6 pasien lain, aku tidak sendiri lagi. Aku di rumah sakit hanya 3 hari. Setelah pulang ke rumah, adikku langsung mengadu. Selama aku tidak ada, dia dijadikan pembantu oleh Andy. Padahal di juga sedang hamil muda. Aku marah-marah pada Andy, “kamu keterlaluan, seharusnya kita berterima kasih padanya. Bukannya malah memperlakukan dia sebagai pembantu di rumah kita”. Aku minta maaf pada adikku. Adikku minta diantarkan kembali ke rumah mamaku. Andy langsung mengantarkannya. Kembalilah aku pada kesibukanku mengurus dua orang anak dan rumah tangga. Pembantu kami selalu berganti-ganti, mereka hanya tahan 2-3 bulan. Aku juga tak tahu mengapa. Setiap kali pembantu baru bekerja selama satu minggu pasti aku tanyakan, “kalau ada apa-apa yang kamu tidak suka, bicarakan pada saya ya. Apakah kamu betah di sini?”. “Iya, bu. Saya betah, kok. Ibu orangnya baik”, kata mereka. “Apa mereka hanya berusaha menghibur aku saja?”, pikirku. Ah, aku tak mau ambil pusing. Pikiranku sudah banyak terkuras untuk mengurus dua anak sekaligus. Aku tak mau memikirkan yang lain. Selama pembantu masih ada gantinya, aku tak mau pusing. Kalau toh tidak ada, ya, sudah, sebisanya aku kerjakan sendiri.

Sebenarnya aku bersifat pemberontak, tapi selama ini aku selalu mengalah. Apapun yang Andy perlakukan padaku, aku selalu terima. Dia tidak memberiku uang, aku terima, dia membentakku, aku terima, dia marah-marah tanpa sebab, aku terima. Sampai satu saat ketika aku jatuh sakit, aku merasa kepalaku pusing. Aku ingin istirahat, aku meminta Andy yang mengurus anak-anak kami. Tapi dia tidak mau. Dia malah pergi. Waktu itu, tidak ada pembantu. Terpaksa, aku bangun. Aku hanya mengurus keperluan anak-anakku saja, memasak, dan mengepel kamar tidur kami, karena anakku yang pertama sedang belajar berjalan. Selebihnya aku biarkan saja. Aku pindahkan TV ke kamar kami. Agar anakku bisa menonton TV dan aku bisa beristirahat. Selama ini aku jarang keluar rumah, karena harus membawa anak-anak. Sebab, setiap kali kami keluar, aku pasti lebih repot daripada jika harus mengurus di rumah. Setelah anak-anak masuk sekolah, barulah aku bisa keluar rumah, dan bergaul dengan sesama orang tua. Setidaknya, beban pikiranku teralihkan. Aku selalu berpikir bahwa selain nasib aku masih ada orang lain yang bernasib lebih menyedihkan. Aku berusaha tabah. Aku mulai menuntut Andy untuk memberiku uang bulanan. Selama ini aku tidak pernah memegang uang apapun. Semua pengeluaran Andy yang urus. Dari uang bulanan yang tak seberapa yang diberikan oleh Andy, aku mulai mencari kesibukan lain, misalnya menjual pernak-pernik, menjual alat-alat masak, ataupun menjual kosmetik. Walaupun Andy mengatakan semua yang aku lakukan tidak menghasilkan untung, setidaknya, aku ada kegiatan. Uang itu tidak aku gunakan foya-foya. Keuntungannya aku belikan barang-barang untuk kujual kembali. Memang tampaknya tidak menghasilkan karena bukan berupa uang tetapi barang.

Suatu hari Andy yang biasanya pulang ke rumah jam 7 malam, tiba-tiba pulang jam 11 malam. Aku pikir dia banyak pekerjaan. Aku tanya, “kok, tumben pulangnya malam?”. “Iya, kerjaan!”, hanya itu jawabnya. Kejadian itu berlangsung selama satu minggu. Aku tidak curiga sama sekali. Ketika hari ke tujuh, Andy pulang malam, tiba-tiba pamanku menelpon. Waktu itu pukul 9 malam. “Suamimu ada di rumah?” tanya pamanku. “Tidak, dia belum pulang”, kataku. “Kamu tidak curiga? Kalau-kalau dia bersama perempuan lain. Coba, kamu tanyakan dengan tegas”, kata pamanku. “Sudah pernah aku tanyakan. Jawabannya hanya kerjaan”, sahutku. Pamanku memarahiku, “bohong itu! Nanti setelah dia pulang kamu harus cek kebenaran kata-katanya, ya!”. “Baik”, kataku. Aku sengaja menunggu Andy di ruang tamu. Aku sudah siapkan semua pertanyaan yang ada di dalam pikiranku. Ketika Andy pulang, langsung aku menegurnya, “Kamu bersama perempuan lain, kan, bukan urusan kerjaan?” “Kata siapa?” tanya Andy. “Tak usah kamu mencari alasan dan tak perlu tahu aku tahu dari siapa. Yang pasti, benar kan apa yang aku katakan barusan. Sudahlah tak usah mengelak lagi”, kataku. Akhirnya Andy mau mengaku juga. “Tapi aku tak ada apa-apa dengan dia”, ujarnya. “Aku hanya mengantarnya pulang. Kasihan dia, tinggalnya jauh di Tanjung Priok”, katanya lagi. Aku langsung naik pitam mendengar kata-katanya, “oh, bagus, kamu bisa bela-belain antar dia jauh-jauh pulang ke tanjung priok, sedangkan rumahmu di kelapa gading. Kamu ingat tidak, dulu aku minta kamu antar aku ke rumah orang tuaku kamu tidak mau. Padahal aku istrimu. Jadi apa maksudnya ini. Ini yang disebut diantara kalian berdua tidak ada apa-apa? Memang dia tidak punya orang tua, tidak punya saudara yang bisa dimintai tolong? Mengapa harus kamu yang mengantarnya?” teriakku. Aku kecewa, ternyata kepercayaan dan kesabaranku disalahgunakan oleh Andy. Tapi aku masih punya sisa kesabaran lagi. Aku bertanya, “ok, dia anak orang kaya atau anak orang susah kayak kita?”. “Apa maksud kamu?” tanya Andy. “Kalau dia juga sama-sama anak orang susah seperti kita, putuskan dia! Tapi, kalau dia anak orang kaya, kamu boleh teruskan. Dia bisa bantu-bantu keuangan kamu, kan?!”, kataku. “Kamu gila!”, teriak Andy. “Kamu yang membuat aku gila!”, aku balas berteriak. “Silahkan kamu teruskan kelakuan kamu. Aku akan membuatmu malu! Aku akan hubungi semua klien-klienmu, dan kita lihat apa yang akan mereka lakukan? Jangan kamu anggap sepi ancamanku ini. Kamu kenal aku, kan? Apa aku pernah berkata bohong? Mau kamu buktikan? Silahkan!”, ancamku. Keesokan harinya, Andy kembali pulang jam 7 malam. Tetapi aku tetap bertanya, “kok, tumben pulang jam 7, tidak mengantar kekasihmu lagi?”. “Tidak, dia pulang dijemput saudaranya”, ujarnya. “Nah, itu bisa. Itu hanya alasan saja, agar dia bisa berdua-duaan denganmu. Sedangkan kamu memang sedang gatal, minta digaruki!”, kataku, sambil tersenyum sinis. Andy hanya diam. Sejak kejadian itu tidak ada lagi kelakuannya yang mencurigakan. Dan aku juga tidak ingin mencari tahu. Aku hanya berpedoman: “Sepintar-pintarnya kelinci melompat, pasti akan terjatuh juga. Sepintar-pintarnya orang menutupi kebusukan, pasti akan ketahuan juga”.

Andy membuat ulah lagi. Saat itu Andy telah pindah pekerjaan di sebuah perusahaan developer dengan proyek baru dengan gaji lumayan, kata Andy. Hampir setiap hari dia dijemput teman mainnya waktu kecil. Sebut saja Hans. Pertama, Hans mengunjungi rumahku dan main bersama anak-anak. Aku pikir, teman Andy ya temanku juga. Jadi aku tidak berpikir apa-apa. Hans masih bujangan dan sering gonta ganti pacar. Suatu kali Hans mengajak kami sekeluarga makan di luar, dia mentraktir kami. Lalu berikutnya, giliran Andy yang mengeluarkan uang. Hanya beberapa kali saja kami pergi. Selanjutnya, mereka sering pergi berdua. Aku tak tahu mereka pergi kemana. Kadang-kadang pulang larut malam. Semakin lama, Andy semakin sering membentak aku. Sepertinya dia tidak senang jika aku bertanya pergi kemana saja kalau dia bersama temannya itu. Dan dia mulai tidak memberiku uang lagi. Andy juga mulai tidak perduli dengan aku dan anak-anaknya. Aku pikir, ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Suatu malam, aku buka handphone milik Andy. Padahal selama ini aku tak pernah memegang ataupun mengutak-utik barang milik Andy tanpa seijinnya. Aku catat nomor telpon Hans. Keesokan harinya, waktu Andy berada di kantornya. Aku menelpon Hans. Aku meminta pengertiannya, “maaf, ya, Hans. Bukannya aku tidak mengijinkan Andy untuk pergi denganmu. Hanya saja jangan terlalu sering. Andy sudah memiliki keluarga, sedangkan kamu masih bebas. Jangan samakan Andy dengan kamu. Tolong, ya, Hans, bantu aku. Aku sangat berterima kasih kalau kamu mau mengerti”, sambil setengah memohon. “Oh, iya, maaf kalau begitu”, sahut Hans. Setelah itu, Andy terlihat jarang sekali pergi dengan Hans. Setiap kali Andy menghubungi Hans dan mengajaknya pergi, Hans seringkali menolak dengan alasan sibuk.

Setelah anakku berusia tujuh dan enam tahun, Andy ditawari kesempatan untuk membuka perusahaan baru di daerah Bekasi. Andy menyetujuinya dengan syarat aku boleh menggantikan tempatnya. Permintaan itu disetujui oleh pimpinan perusahaan. Keesokan harinya aku mulai bekerja sebagai marketing property. Dengan bekerja aku memiliki uang sendiri. Aku bisa membantu saudara-saudaraku dan mamaku. Selebihnya aku tabung sendiri. Dan Andy membeli 10% saham di perusahaan baru itu. Setiap hari Andy bolak balik ke Bekasi. Lama kelamaan terbersit pikiran untuk memiliki rumah di daerah tersebut. Aku setuju saja. Kami mendapatkan bantuan dari seorang klien yang pernah aku beri keuntungan. Jadi kami boleh memilih rumah di antara rumah-rumah yang dijualnya dan kami diberi potongan sebesar 20 juta dari harga rumah yang kami mau. Andy masih memikirkan sisa pembayaran yang harus dicicilnya. Sambil mengajukan permohonan pada Bank. Ternyata permohonan itu disetujui. Rumah yang diinginkan telah ditetapkan. Permasalahannya ada pada keharusan meminta tanda tangan dari pemilik lama. Sedangkan klien kami telah memintanya tetapi ditolak walaupun dengan diiming-imingi uang yang lumayan besar jumlahnya. Andy pun sudah mencobanya, tetap ditolak. Andy sudah putus asa, dia berpikir rumah itu bukan jodohnya. Aku meminta nomor telpon pemilik lama tersebut pada Andy. Aku ingin mencobanya. Andy memastikan bahwa aku tidak akan berhasil juga. Aku berkata,”aku coba dulu, tidak ada salahnya kan?!”. Lalu aku mencoba menghubungi pemilik lama tersebut. Memang mulanya dengan nada tidak enak, dengan tegas dia menolak. Tapi aku jelaskan, bahwa aku bukanlah orang kaya. Aku menjelaskan keadaan kami apa adanya. Kami hanya ingin memiliki rumah sendiri. Aku meminta tolong padanya. Akhirnya ia mau membantuku. “Ya, kita sama-sama saling bantu. Soalnya saya dulu juga sama seperti kamu. Saya mau membantu kamu. Kapan tanda tangannya, dimana dan kapannya, nanti kamu kabari saya ya”, katanya. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih. Aku sampaikan kabar gembira ini pada Andy. Andy langsung menghubungi pihak Bank untuk mengatur acara penandatanganan tersebut. Akhirnya kami berhasil memiliki rumah yang sekarang kami tempati.

Setelah kami menempati rumah ini, aku semakin jarang masuk ke kantor. Waktu yang tidak beraturan karena aku harus mengantar anak-anakku sekolah dan les. Juga jalan yang menuju ke kelapa gading selalu macet. Sehingga membuat aku sulit mengatur jadwal ke kantor. Aku tak tahu siapa yang memulai rencana tersebut. Andy sering menghadiri reuni teman-teman sekolahnya. Semula aku tidak keberatan, karena acara tersebut tidak sampai larut malam. Lama kelamaan bukan lagi acara reuni tapi acara kumpul-kumpul bersama beberapa temannya. Acara itu adalah acara makan-makan, dilanjutkan dengan karaoke lalu menonton striptease. Acara ini adalah untuk mentraktir teman yang sedang berulang tahun. Pertama kali Andy masih minta ijin padaku. Aku pikir sekali-sekali tidak apa-apa, selama tidak terjadi apa-apa. Tetapi, ternyata acara ini menjadi rutinitas bagi mereka. Hampir setiap bulan diadakan. Dan Andy tidak pernah lagi meminta ijin padaku. Langsung mengatur jadwal. Sikap itulah yang dari dulu aku tidak pernah suka. Dia seperti tidak menganggap istrinya ada. Apapun yang dia ingin lakukan, dia selalu lakukan sendiri tanpa berkompromi denganku. Aku juga heran, dia selalu berkeluh kesah bahwa dia pusing memikirkan pengeluaran yang besar, hutang-hutang kartu kreditnya yang hanya bisa dibayar minimumnya saja. Setiap kali Andy berkeluh kesah, aku selalu merasa kasihan. Aku akan berusaha membantunya sebisaku. Aku tidak diberi uang, aku tak keberatan. Aku berusaha memasak masakan lebih sedikit, tadinya aku memasak tiga macam masakan, lalu aku kurangi menjadi dua macam dan kemudian menjadi satu macam masakan. Andy dari dulu tidak suka makan masakanku di rumah. Aku tak tahu dia makan dimana. Aku dan anak-anakku yang makan masakanku. Tapi Andy selalu mengomeli aku, katanya aku boros. Sebenarnya, siapa yang boros? Andy adalah pria yang pesolek, semua bajunya bermerk dan mahal. Kalau dibandingkan aku yang wanita, dia lebih suka shopping. Belanja baju-baju dan perhiasan untuknya. Sedangkan aku membeli baju apa saja, yang penting enak dilihat dan nyaman dipakai. Aku memang tidak suka shopping dan tidak suka bersolek. Aku lebih suka traveling. Karena Andy mulai menyalahkan aku atas keadaan-keadaan itu, aku merasa tidak rela, maka aku melawannya. Aku pikir selama ini aku hanya diam saja dan mengalah atas apa yang selama ini dia perbuat terhadap aku. Kesabaranku telah habis. Aku menuntutnya untuk menceraikan aku. aku pikir anak-anak juga sudah besar, dan aku bisa menjelaskannya pada mereka. Selama ini aku harus menahan semua kekesalan aku. aku mulai stres dan depresi. Setiap kali stres pasti maag ku kambuh dan kepalaku sakit. Anak-anakku terkena sasaran kemarahanku. Aku tak mau begini terus. Mau sampai kapan rumah tangga ini seperti ini. Orang lain melihat bahwa kami berdua adalah pasangan yang bahagia. Aku berusaha menutup-nutupinya. Yang pernah tinggal bersama kami, mereka akan tahu bahwa ternyata rumah tangga ini di dalamnya dingin seperti di kutub. Tidak ada kehangatan, semuanya berjalan seperti robot yang telah diprogram. Kalaupun aku dan Andy bertemu pasti terjadi pertengkaran. Aku telah berdoa berulang-ulang pada Tuhan untuk menunjukkan jalan yang terbaik bagi kami dan anak-anak. Mungkin memang harus ini jalan satu-satunya. Semoga ada setitik kebahagiaan bagiku dan anak-anakku di luar sana.

Cerita ini hanya rekaan semata. Jika ada kesamaan Nama/Peristiwa/Tempat kami mohon maaf.

1 comment: