07 May 2009

Hadapi ADHD dengan kelembutan

Ditandai dengan perilaku impulsif, hiperaktif dan tidak mampu berkonsentrasi, Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) kian merajalela di masyarakat. Kondisi itu dua kali lebih sering hinggap pada anak laki-laki, dan umumnya mulai terlihat sejak anak beruasia di bawah tujuh tahun. Prevelansinya pun cukup tinggi. Dibuktikan dengan hasil survei yang diterbitkan dalam American Journal of Psychiatry tahun 2007, yang menyatakan ADHD mendera 3 – 5% anak usia sekolah.

Pada dasarnya, ADHD termasuk kelainan sistem saraf yang berimbas pada perubahan tingkah laku (neurobehavioral). Uniknya, dari sejumlah kasus ADHD yang diteliti, hanya sepertiganya saja yang memiliki gejala ADHD murni. Sisanya turut disertai kelainan perilaku lain, seperti bipolar – ditunjukkan dengan naik dan turunnya mood secara tiba-tiba – ataupun anxiety disoeder – sering gelisah.

Penyebab spesifiknya sampai saat ini masih dipertanyakan, ujar Dr. Andy Sugoro, Sp.A, dokter anak yang berpraktek pada RS Omni International – Alam Sutera. Beberapa pihak menuding faktor genetis sebagai biang keladinya, mengingat sekitar 75% kasus ADHD dipengaruhi oleh kelainan gen-gen yang berhubungan dengan dopamine transporters – rangkaian membran protein yang menggabungkan dopamine.

Dopamine sendiri adalah neurotransmitter – substansi penerus sinyal otak dari satu sel otak ke sel otak yang lain – yang berperan mengaktifkan lima jenis reseptor di otak, sekaligus neurohormone – hormon yang pelepasannya dipengaruhi oleh sel saraf – yang dikeluarkan oleh kelenjar hypothalamus, dan berperan menghalangi kelenjar pituitary melepaskan prolaktin. Selain kedua fungsi tersebut, dopamine berperan mempengaruhi sistem saraf sympathetic, yang berpengaruh terhadap peningkatan detak jantung dan tekanan darah.

Namun dilihat dari kompleksitasnya, ADHD diyakini terjadi akibat komplikasi beragam faktor, baik genetis maupun lingkungan.

Faktor lingkungan yang diklaim bertanggung jawab pun beraneka ragam, mulai dari kebiasaan menenggak alkohol dan merokok selama mengandung, paparan terhadap logam berat, hingga komplikasi kandungan dan kelahiran prematur. Pola makan yang banyak mengandung zat pewarna, perasa dan pengawet juga dipercaya memiliki peranan.

“head Injury juga disebut-sebut sebagai salah satu faktor,” ujar Dr. Andy. Namun, hingga saat ini, belum ada penelitian yang dapat membuktikan hal tersebut. Bila ada pun, justru ADHD yang mempertinggi insidensi luka di kepala, bukan sebaliknya.

Alasan lain yang dituding turut mempengaruhi ADHD adalah tekanan mental pasca kejadian traumatis serta perlakuan kasar.

Sebenarnya, ADHD sudah menghantui masyarakat sejak dulu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder – jurnal yang mencamtumkan gejala-gejala kelainan mental terbitan American Psychiatric Association – edisi ke-2 (1968) mulai menjabarkan ADHD dengan istilah “Hyperkinetic Reaction of Childhood”. Namun jauh sebelum itu, di tahu 1798, dokter yang juga pengarang buku dari skotlandia, Sir Alexander Crichton sudah menyinggung gejala ADHD, namun belum menggunakan istilah yang spesifik. “Di Indonesia pun, sudah sejak dulu ada anak ADHD, hanya biasanya orang awam menyebutnya dengan istilah ‘anak nakal’ saja, jadi banyak yang berpikir ADHD adalah penyakit modern,” Dr. Andy menjelaskan.

ADHD cenderung membaik dengan sendirinya ketika anak menginjak usia 10 tahun, namun sekitar 10-40% penderita ADHD tetap membawa kelainan tersebut hingga ia dewasa.

Bila tidak dirawat dengan tepat, penderita ADHD cenderung mengalami hambatan dalam perkembangannya, terang Dr. Andy. Sebuah penelitian dari Russel Barkley di tahun 2008, misalnya, menyimpulkan sekitar 37% penderita ADHD tidak pernah lulus sekolah tinggi, karena tidak mampu berkonsentrasi.

ADHD lagi-lagi mengganggu saat memasuki usia kerja. Bila tidak pandai memilih, penyandang ADHD bisa kewalahan dan stres, serta berpotensi mengalami kelainan psikologis lainnya.

Bila Anda adalah orang tua dari anak yang didiagnosis menderita ADHD, Dr. Andy berbagi tips penyelesaiannya. “Kuncinya hanya dua: Dukungan penuh semua pihak dan kesabaran,” tutur Dr. Andy.

Dalam menangani ADHD, biasanya akan dilakukan terapi stimulasi dan perilaku, ditambah dengan perubahan pola makan. “Progress biasanya mulai tampak setelah menjalankan terapi selama kurang lebih tiga minggu,” ujar Dr. Andy. Perawatan dengan obat-obatan, menurut Dr. Andy, tidak terlalu membawa imbas.

Yang terakhir – dan yang terpenting – adalah “sabar”. Walaupun terkadang sulit dilakukan, inilah pendekatan yang paling efektif dalam menyikapi individu ADHD.

“Walau sekesal apapu, Anda harus tetap sabar. Jangan memarahinya, karena itu akan menyulutkan sikap agresif dan acuh si anak,” Dr. Andy mengingatkan.

Menghadapi anak yang sudah lebih dewasa, pendekatan hati-ke-hati paling tepat. “Dengarkan ‘curahan hatinya’, dan cobalah mengerti jalan pikirnya,” saran Dr. Andy.

Dengan kata lain, adopsilah filosofi Tai Chi yang mengedepankan kelembutan, namun mampu meruntuhkan kekerasan.

1 comment:

  1. Prihatin atas Kriminalisasi Pasien oleh RS Omni International Alam Sutera.

    Terus terang kami menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas kriminalisasi pasien yang dilakukan oleh Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera. Apapun alasan kriminalisasi terhadap pasien tersebut, entah itu (terutama) melalui jalur pencemaran nama baik atau pun alasan lainnya, dipastikan akan menjadi bumerang yang sangat buruk bagi rumah sakit tersebut.

    Seperti diketahui, Prita Mulyasari (32) warga Villa Melati Residence Serpong, Tangerang Selatan yang memiliki anak masing-masing 3 tahun dan 1 tahun 3 bulan mengeluh atas pelayanan Rumah Sakit Omni International Alam Sutera (dikelola oleh PT Sarana Mediatama International).

    Keluhan Prita sebenarnya adalah pengalaman pribadinya sendiri ketika berobat di rumah sakit internasional tersebut. Namun karena merasa dipingpong dan tidak mendapat jawaban yang memuaskan soal penyakitnya, Prita kemudian mengirimkan email kepada sahabatnya, yang kemudian menyebar luas di berbagai mailing list.

    Pihak rumah sakit rupanya marah dan mengadukan masalah ini kepada pihak yang berwajib. Akibatnya Prita yang masih menyusui anaknya itu dijebloskan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Tangerang, sejak pertengahan Mei 2009.

    Pertanyannya, pantaskan rumah sakit mengadukan pasiennya, padahal dia mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari pasien ? Bukanlah jika keluhan kecil dari Prita jika ditanggapi secara professional, tidak akan menimbulkan keluhan yang lebih besar ? Bukankah respon yang dilakukan oleh pihak RS Omni Internasional bisa merusak citra rumah sakit secara keseluruhan ?

    Kami salut dan memberikan penghargaan yang baik terhadap Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Dewan Pers yang mengangap bahwa penanganan RS Omni International Alam Sutera terhadap keluhan Prita terlalu berlebihan. Mudah-mudahan, kasus yang buruk seperti ini hanya yang pertama dan yang terakhir yang dilakukan oleh rumah sakit.

    Pada kesempatan yan baik ini kami menghimbau agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari untuk turun tangan menangani persoalan rakyat ini. Bahkan jika perlu, para aktifis konsumen, aktifis perempuan dan anak, serta lembaga bantuan hukum untuk rakyat segera melakukan koordinasi dan komunike bersama untuk menuntaskan persoalan ini secara lebih adil dan lebih beradab.


    Barata Nagaria
    Koordinator
    Solidaritas Anti Kriminalisasi Pasien Indonesia (SAKPI)
    http://anti-kriminal.blogspot.com
    email : barata.nagaria@yahoo.co.id

    ReplyDelete